Wednesday, November 18, 2009

b u k a n c i n t a


November 2009
Saya harus bergelut dengan banyak tugas dan thesis.
Saya tidak suka thesis.
Membuat saya tertekan juga takut :(
Tapi saya selalu suka hari Kamis.
Kamis pagi adalah saat saya harus bekerja membagi-bagikan majalah di tengah kota.
Saya suka :)
Seburuk apapun mood saya, saya bisa mendadak bahagia ketika saya melakukan pekerjaan ini.
Saya senang,
Bisa memberikan majalah sembari menyapa para pengguna jalan: "Halo, Selamat Pagi!" :)
Setiap Kamis pagi,
Saya selalu melihat wajah-wajah stress.
Wajah-wajah suntuk.
Wajah-wajah mengantuk.
Senang rasanya bisa menyapa wajah-wajah itu dengan senyuman.
Setiap Kamis, saya bertugas membagikan majalah di perempatan Collins dan Williams St.
Ini lokasi perkantoran.
Di tempat ini,
Ada dua orang yang menarik perhatian saya.
Keduanya tidak pernah menerima majalah yang saya berikan.
Tapi mereka selalu membalas sapaan dan senyuman saya :)
Mereka semua berpenampilan menarik.
Rapi.
Postur tubuhnya pun bagus
Dari keduanya.
Ada satu yang berkulit hitam legam.berkepala plontos.
Ia selalu mengenakan kemeja putih dan celana abu-abu.
Postur tubuhnya bagus.(Teman saya, Runi, tahu apa yang paling menarik dari dirinya :p~)
Saya selalu menanti kedatangannya setiap Kamis pagi.
Hingga suatu ketika,
Saya bekerja tidak secepat biasanya,
Saya selesai agak akhir.
Ketika hendak pulang
Saya melihat seseorang mengenakan jaket hitam.
Sepertinya baru kali itu Ia melintas.
Atau mungkin saja sering, Tapi saya tidak pernah menyadarinya.
Postur tubuhnya tidak terlalu bagus.
Ia pun tidak pernah tersenyum.
Entah mengapa,
Ia menarik.
Sejak itu, saya selalu menunggu kehadirannya.
***
Pagi itu,
Hari Kamis,
Seperti biasa, saya siap meninggalkan rumah jam 6 pagi.
Senang rasanya melangkah keluar dan melihat matahari sudah bersinar.
Musim dingin telah selesai :)
Saya pun tidak perlu lagi berjalan dalam dingin dan gelap.
November.
Saya suka November.
Ah tapi hujan!
Terpaksa saya harus kembali mengambil payung di rumah.
Saya tidak pernah suka memakai payung.
Tapi tentu kali ini, saya perlu payung untuk melindungi majalah yang akan saya bagikan.
Saya pun melangkah kembali ke rumah.
Saya menelpon teman saya :
Sorry, bangunin pagi-pagi…minta tolong bukain pintu..mau ambil payung, di luar gerimis”
Teman saya tentu kesal direpotkan saat Ia masih terlelap.
Tok, Tok, Tok!
Dengan wajah kesal, teman saya membukakan pintu
Ia segera memberikan payung.
Tiba-tiba saja saya mendengar bunyi aneh.
Seperti bunyi obor yang menyala: “Heii…denger ga? Itu bunyi apa ya?”
Terlalu mengantuk, teman saya tidak menghiraukan.
Saya pun segera melangkah ke luar.
Di luar,
Saya melihat Balon Udara melintas di depan rumah.
Berwana merah.
Besar.
Ditumpangi 6 orang.
Balon itu melintas begitu rendah.
Begitu dekat.
Saya terkesima.
Sepertinya, baru kali ini
saya melihat balon udara.
Saya kontan berteriak: “aaaah..ada balooooon udaraaaa…baguuuuusss!”
Mendengar saya berteriak, teman saya pun keluar:
“waah..kok tumben ada balon udara,..cuaca nya hujan gini lagi..wah baru mau berangkaat..rendah banget ya…dekat..”
Dan kami pun menyaksikan balon udara melintas di halaman rumah.
Senang :)
***
Saya pun tiba kembali di stop-an tram.
Saya menunggu tram datang
Sembari tersenyum :)
Tidak menyesal rasanya harus balik lagi ke rumah untuk mengambil payung.
Saya jadi bisa melihat balon udara
Bagus !
Tak berapa lama,
Tram saya pun datang.
Di tram, saya bertemu Ria dan Limmy.
Seperti saya, Ria juga membagikan majalah setiap Kamis pagi.
Ria dan Limmy tampak tidak ceria.
Mungkin karena minggu pertama November adalah saat ketika tugas dan ujian menumpuk :(
Buat saya, terasa begitu berat.
Karena saya harus bergelut dengan thesis :(
Sudah beberapa bulan terakhir, saya berusaha mengerjakan proposal
Tapi belum juga berhasil.
Saya takut :( :(
Di Tram,
Saya bercerita akan ketakutan saya.
Minggu lalu saya merasa begitu tertekan hingga saya tidak kuasa menahan tangis
Tiba-tiba saja Ria berkata: “Ya, kita semua memang lagi stress, Kamu tahu, minggu ini udah tiga teman yang datang menangis pada saya..padahal baru minggu sebelumnya saya menginap di rumah teman karena ingin menangis, Teman saya pun menangis karena merasa supervisornya tidak membantu”
“Limmy semalam nginap rumah saya, karena sahabat baiknya baru saja meninggal ketika Ia akan menikah!”
:(
***
Semua orang punya masalah.
Saya tidak sendiri rupanya.
***
Saya pun tiba di perempatan Collins dan Elizabeth St.
Saya masih harus berjalan 2 blok lagi.
Ini adalah tempat teman saya Sol bekerja
Seperti biasa Sol akan menyapa saya: “Horee…Ima gak telaat ”
Sol, teman yang baik.
Ia rajin mengirim pesan pendek setiap kamis pagi.
Terkadang bunyinya: “Banguuuun”
Terkadang bunyinya: “Bangguuuuuun…malu sama bos”
Sol bilang: sudah satu semester ini saya 'aneh'
Dulu, Sol sering menelpon, mengirim pesan pendek, memberi coklat…
Sejak Sol tahu bahwa saya cuma berteman dengan Do.
Tapi, Saya pun cuma ingin berteman dengan Sol.
***
Saya salut sama Sol.
Ia anak Jakarta,
Dari keluarga berada.
Tapi Ia mau bekerja membagikan majalah.
Pernah,
Suatu ketika saya membagikan majalah,
Saya bertemu teman saya.
Tipikal Anak Jakarta.
Saya sudah tidak lama bertemu dengannya.
Ketika tidak sengaja bertemu, saya pun menyapanya dengan antusias. Kangen!
Tapi,
Melihat saya membagikan majalah, Ia terkejut: “Imaa….ngapain lo di sini???!!”
Saya bilang: “kerja”
Ia bilang: “ngapaiiiin?”
Saya bingung dengan reaksi teman saya.
Saya kira ini pekerjaan yang wajar dan biasa.
Tapi saya lupa, ini tentu kurang ‘wajar’ bagi beberapa kalangan.
Saya pribadi suka sekali pekerjaan ini.
Saya suka mengamati keseharian orang di tengah keramaian.
Ini seperti hiburan buat saya di tengah beban thesis :(
***
Saya pun tiba di perempatan Collins dan Williams St.
Hari itu, saya niat untuk selesai lebih awal.
Karena ini minggu pertama November.
Saya harus segera ke perpustakan, menyelesaikan tugas-tugas saya.
Sebelum kembali menghadapi thesis :(
Saya berhasil.
Saya selesai membagikan majalah jauh lebih awal.
Ketika duduk di tram,
Saya menatap tempat saya membagikan majalah.
Ah, si pria berjaket hitam melintas.
Sayang, kali ini saya tidak bisa melihatnya dari dekat.
Di Tram, saya melihat seseorang membaca majalah yang baru saja selesai saya bagikan.
Ia pun turun, meninggalkannya di bangku tram begitu saja.
Saya lantas mengambilnya.
Selama ini, saya tidak pernah sempat membaca majalah yang saya bagikan itu
Kali ini,
Saya memperhatikan sampulnya.
Berwarna cerah
Saya pun membaca satu kalimat yang mencerahkan :)
Saya segera membawa majalah itu ketika saya turun dari tram.
***
Di tram stop,
Saya melihat Sol belum selesai bekerja,
Sol masih punya beberapa majalah.
Saya berlari menghampiri Sol: “Sooooollll....”
Sol tersenyum.
Saya memohon:
“Sol, jangan ketawa yaah...he...gw mau minta tolong...gw kan kalau bagi-bagi Cityweekly ga pernah merhatiin yaah isinya apa..gw bagiin aja gitu...eh hari ini gw gak sengaja merhatiin...dan gw suka banget tulisannya...ini pas banget sama hidup gw sekarang...liat deh tulisannya: “FACE YOUR FEARS!” .jadiii...potoin gw dong sama cover cityweekly! he.."
Sol: “Ah, bilang daritadi minta fotoin”
Sol langsung mengambil kamera saya,
Saya: “bentaar Soooll...sini majalahlo,,,gw bantuin bagiin..”
Saya mengambil majalah Sol, berusaha membagikan yang tersisa..
Sol lalu mengambil foto saya.
Selepasnya, saya langsung pergi meninggalkan Sol.
Sol berteriak: “Eh mau kemana buru-buru?”
Saya bilang: “Itu tram gw datang”
Sol kesal; “Ah...ga bakal keburu..”
Sol benar: Tidak kekejar. Tram saya keburu jalan.
Saya menoleh ke Sol.
Ia sudah tidak di tempatnya.
Saya pun menyeberang.
Saya menoleh ke kanan.
Ah, si lelaki berjaket hitam :)
Berjalan tepat di sisi saya
Saya kontan tersenyum.
Memang kalau jodoh tidak kemana... (he...ngarep :p)
Saya melihatnya.
Ia terus memandang ke depan.
(mungkin) tidak sadar dengan keberadaan saya.
Tapi,
Senang rasanya bisa berada dekat dengannya.
Meski Ia (tidak) pernah tahu …
C i n t a ? :p

Sunday, November 01, 2009

Sepi...

Sudirman

Lantai Dua

Tahun 2007,

Saya dievaluasi pimpinan

Bos saya berkata:

“Hal yang harus dipertahankan dari kamu adalah positive thinking, pengamatan saya dan yang lain: kamu tu dikirim liputan kemana aja survive, balik-balik pasti bawa cerita lucu padahal di sana kita tahu ribetnya gimana...dipertahankan yah itu, inget Ima kata saya: pokoknya dimanapun kamu nanti bekerja/berada, dipertahankan itu, kamu tidak akan takut kemana-mana!”


Entah bos saya masih ingat atau tidak akan wejangan itu,

tapi kalimat tersebut begitu membekas di benak saya.


Tahun 2008,

Saya tidak takut ke luar negeri sendiri.


Padahal dulu saya sangat manja di Jakarta.

Sedikit-dikit saya menghubungi abah saya

Sedikit-dikit saya minta tolong kakak saya

Sedikit-dikit saya mencari teman saya.

Sedikit-dikit saya mencari perlindungan.


Hingga pengalaman singkat menjadi reporter ternyata melatih diri saya untuk lebih berani bergerak sendiri.

Meski saya masih banyak bergantung.


Tapi, para produser tidak pernah letih melatih saya.

Berkali-kali saya ditaruh di program liputan panjang

lebih meletihkan dari program liputan pendek harian.

Lebih stress.

***

Stress!

Oktober 2009, saya terlampau stress.

Hingga saya lupa bagaimana menjadi bahagia.


Stress seperti tanpa akhir sejak saya mengajukan proposal untuk mengerjakan thesis.


Seorang sahabat saya di UI pernah menghibur: “Santai Ima, kayak dulu aja jaman kita kuliah...lo males baca tapi kan lo suka acak milih isu untuk dikomentari, emang udah gabisa kayak gitu lagi?”


Mungkin masih bisa seperti itu

Kalau cuma mencari 'aman”

Tapi tentu saya tidak ingin sekedar aman.


Saya terlanjur berkata: “iya”

Saat Bapak pemberi beasiswa menasehati : “Nanti kamu belajar sungguh-sungguh ya di sana”


Saya pun selalu sedih ketika melihat bukti pembayaran negara buat sekolah saya.

Di sini, Pak konjen pernah berkata: “Kalian belajar sungguh-sungguh ya, dulu untuk ngebiayain saya sekolah, negara pakai duit hutang!”


Saya tidak tahu darimana asal uang sekolah saya.

Yang saya tahu itu nilai yang besar.

Jika dibandingkan dengan penghasilan saya dulu,

Lima puluh tahun saya bekerja, saya baru bisa menghasilkan uang sebesar itu.


Tapi tenyata bukan cuma nilai uang yang besar,

Di sini saya pun menemukan ketakutan terbesar saya.

Saya ternyata sangat takut sepi :'(

…..


Kemarin, saya di rumah sendiri.

Housemate saya pergi ke pantai

Housemate lain sedang ke luar.


Saya di rumah.

Berusaha belajar.

Tugas kuliah saya banyak.

Belum lagi tuntutan thesis.


Sejam-dua jam, saya masih bisa belajar

dengan ditemani tayangan televisi.

Dan alunan musik.

Hingga saya merasa bosan.


Saya melongok ke jendela.

Tidak ada manusia.

Saya melangkah ke halaman depan.

Tidak ada manusia.


Saya pun duduk-duduk di depan.

Sambil berusaha membaca.

Tapi ternyata saya bosan luar biasa.

Berjam-jam saya duduk di luar.

Tidak seorang manusia pun melintas.


Saya stress.

Dulu Pimpinan saya pernah bilang: Ima punya manajemen stress yang bagus.

Tapi kemarin saya tidak mengerti kenapa seseorang pernah menilai saya demikian.


Kemarin,

Saya begitu tertekan ketika tidak mendengar suara.

Bahkan kicauan burung pun tidak ada siang itu.

Saya masuk kembali ke dalam rumah karena matahari semakin terik.


Saya bosan.

Saya ingin menelpon teman.

Tapi saya tahu mereka semua sedang stress dengan tugas dan ujian.

Saya ingin menelpon rumah di Jakarta

Tapi kartu telpon saya sedang habis.

Tanpa saya sadari,

saya mulai menangis.

Satu persatu tissue mulai membasuh muka saya.


Saya tidak menyangka, ternyata saya bisa begitu tertekan oleh sepi.

Ingin rasanya menghubungi Ibu saya

Tapi saya tahu Ia akan menangis.

Saya pun membatalkan niat saya.


Saya memilih merasakan sepi.

Perasaan yang paling tidak disukai oleh Ibu saya.


Beruntung, sempat saya rasakan

saya tidak suka!

tidak ingin lagi merasakannya

Jika bisa,

Tidak seorang pun akan saya biarkan merasa sepi.


***


Sewaktu saya kuliah

Saya hampir tidak pernah di rumah

Setiap hari saya ke kampus

Berangkat pagi

Pulang Malam.


Jika saya pulang lebih awal,

Ibu saya begitu bahagia dan berkata : "Halo...sayang, duh kangen deh sama anak Mama!"


Saya tidak pernah mengerti mengapa Ibu saya begitu; “ah Mama lebay ah..kayak ga pernah ketemu aja”


Meski sering pulang larut,

Saya selalu melihat makanan tertata rapi di meja makan.

Seringkali tidak saya sentuh.

Karena seharian saya makan di luar.


Kalau saya pulang diantar teman-teman, biasanya saya ajak mereka makan malam di rumah.


Esoknya Ibu saya akan bahagia sekali.

Melihat makanan di meja makan sudah tersentuh.

Ibu saya bilang : “senang Mama, kalau makanan nya abis dimakan”


Kini,

Setelah saya bisa memasak, saya baru paham bagaimana senangnya.

Kalau masakan kita tidak cuma dinikmati sendiri.

Karena menikmati bersama bisa menghapus rasa sepi.



Saya dulu tidak pernah tahu berapa lama Ibu saya biasa menanti saya pulang setiap hari.

Menanti makanan di meja makan tersentuh.

Hingga Ia seringkali terlelap dan harus melihat makanan yang sama masih utuh di meja hingga keesokan harinya:(



Kemarin,

Saya baru mengerti mengapa Ibu saya selalu menyambut gembira kedatangan saya.


Karena saya selalu membuatnya merasa sepi.

Setiap saya terburu-buru ke kampus di pagi hari,

Padahal ibu saya bangun lebih pagi untuk membuatkan saya susu dan roti.

Tapi saya lewatkan begitu saja karena saya takut terlambat kuliah


Saya terus membuatnya merasa sepi.

Hingga malam hari.

Hingga keesokan harinya lagi.


Maaf yah ma :(


***

Tak Heran,

Ketika saya kerja,

setiap kali dapat shift siang.

Ibu saya selalu berada di meja makan saat saya hendak berangkat kerja.

Ia akan memanggil dan berkata: “Im, temenin mama makan dulu dong”

Seringkali saya sempatkan karena : “pikir-pikir boleh juga buat berhemat :P”


Semoga saat ini, ada yang selalu menemani ibu saya makan siang .

Karena saya telah mengerti bagaimana sedihnya merasa sepi :(


Tapi mungkin bukan hanya saya, ibu saya, yang tidak suka sepi.


***

Di kos-an saya,

Setiap hari selasa ada seorang ibu yang datang membersihkan rumah.


Setiap kali saya hendak berangkat kuliah.

Ia akan bercerita panjang sekali.

Saya tidak tahu siapa yang diceritakan.

Saya tidak terlalu mengerti apa yang diceritakan

Tapi entah mengapa saya tidak pernah bisa menolak untuk tidak mendengarkannya bercerita.


Ia sangat suka bercerita.

Saat saya masih di kamar pun.

Ia akan mengetuk kamar saya dan bercerita.


Setiap hari selasa, teman sekelas saya pun bilang: “lo parah bgt sih kalau hari selasa telatnya”


Saya selalu tahu alasannya.

Terkadang saya merasa bodoh, kenapa saya tidak pernah belajar dari pengalaman.

Untuk meninggalkan rumah lebih awal setiap hari selasa

Hingga saya tidak perlu terlambat untuk sebuah cerita yang tidak terlalu saya mengerti.


Tapi sejak kemarin,

saya bersyukur,

saya selalu terlambat kuliah setiap hari selasa


Meski selalu 'terjebak” mendengarkan cerita panjang sang ibu.

Saya berharap kepasrahan saya bisa membuatnya bahagia

Semoga bisa sedikit mengurangi sepi.

Karena sepi ternyata begitu menyiksa.


Saya tahu Ia pasti pernah merasa sepi.

Ia selalu ingin bercerita.

Tak hanya bercerita

Tapi juga didengarkan.



Selasa lalu,

Saya sudah siap berangkat kuliah

Perkiraan saya tidak akan telat.

Saya sengaja tidak menyapa sang Ibu, saya cuma pamit pada housemate saya,


Mendengar suara saya,

Ibu itu mengejar saya.

Ia kembali bercerita.

Padahal saya sudah berdiri di pintu depan.


Saya pun mendengarkan.

Sekali lagi saya terlambat.


Tapi, sekarang saya yakin saya melakukan hal yang tepat

Saya mendengarkan seseorang yang ingin bercerita dan didengarkan

Sementara lebih dari 20 mahasiswa mungkin sudah mendengarkan dosen saya di kelas.

Ia tidak akan merasa sepi.


***


Kemarin,

Saya lupa membuang tumpukan tissue bekas tangisan saya

Menjelang malam, housemate saya pulang.


Saya ketahuan habis menangis cuma karena sepi.

Ia bilang: saya ada kelainan.


Mungkin saja benar.

Mungkin saja mereka yang tertekan oleh sepi punya kelainan.


Ibu kos saya pernah bilang: “pada akhirnya semua manusia akan sendiri..cuma antara manusia dan Tuhan”


Sepi


Kemarin,

Saya benar-benar tertekan.

Saat saya tidak melihat manusia

Saya bahkan mencari-cari kucing jantan yang biasanya saya takuti

Saya tertekan karena

tidak kunjung mendengar suara

tidak pula bisa sembahyang karena saya sedang berhalangan


Saya tidak tahu mau mengadu ke siapa.


Tapi sungguh saya merasa lebih nyaman dengan percaya akan adanya Tuhan



semoga mereka yang menyangkal-NYA bukanlah sebuah 'kelainan'



Dengan kelainan saya, saya berjanji:

Tidak sedetik pun, saya berani membiarkan setiap orang yang saya sayang untuk merasa sepi!