Sudirman
Lantai Dua
Tahun 2007,
Saya dievaluasi pimpinan
Bos saya berkata:
“Hal yang harus dipertahankan dari kamu adalah positive thinking, pengamatan saya dan yang lain: kamu tu dikirim liputan kemana aja survive, balik-balik pasti bawa cerita lucu padahal di sana kita tahu ribetnya gimana...dipertahankan yah itu, inget Ima kata saya: pokoknya dimanapun kamu nanti bekerja/berada, dipertahankan itu, kamu tidak akan takut kemana-mana!”
Entah bos saya masih ingat atau tidak akan wejangan itu,
tapi kalimat tersebut begitu membekas di benak saya.
Tahun 2008,
Saya tidak takut ke luar negeri sendiri.
Padahal dulu saya sangat manja di Jakarta.
Sedikit-dikit saya menghubungi abah saya
Sedikit-dikit saya minta tolong kakak saya
Sedikit-dikit saya mencari teman saya.
Sedikit-dikit saya mencari perlindungan.
Hingga pengalaman singkat menjadi reporter ternyata melatih diri saya untuk lebih berani bergerak sendiri.
Meski saya masih banyak bergantung.
Tapi, para produser tidak pernah letih melatih saya.
Berkali-kali saya ditaruh di program liputan panjang
lebih meletihkan dari program liputan pendek harian.
Lebih stress.
***
Stress!
Oktober 2009, saya terlampau stress.
Hingga saya lupa bagaimana menjadi bahagia.
Stress seperti tanpa akhir sejak saya mengajukan proposal untuk mengerjakan thesis.
Seorang sahabat saya di UI pernah menghibur: “Santai Ima, kayak dulu aja jaman kita kuliah...lo males baca tapi kan lo suka acak milih isu untuk dikomentari, emang udah gabisa kayak gitu lagi?”
Mungkin masih bisa seperti itu
Kalau cuma mencari 'aman”
Tapi tentu saya tidak ingin sekedar aman.
Saya terlanjur berkata: “iya”
Saat Bapak pemberi beasiswa menasehati : “Nanti kamu belajar sungguh-sungguh ya di sana”
Saya pun selalu sedih ketika melihat bukti pembayaran negara buat sekolah saya.
Di sini, Pak konjen pernah berkata: “Kalian belajar sungguh-sungguh ya, dulu untuk ngebiayain saya sekolah, negara pakai duit hutang!”
Saya tidak tahu darimana asal uang sekolah saya.
Yang saya tahu itu nilai yang besar.
Jika dibandingkan dengan penghasilan saya dulu,
Lima puluh tahun saya bekerja, saya baru bisa menghasilkan uang sebesar itu.
Tapi tenyata bukan cuma nilai uang yang besar,
Di sini saya pun menemukan ketakutan terbesar saya.
Saya ternyata sangat takut sepi :'(
…..
Kemarin, saya di rumah sendiri.
Housemate saya pergi ke pantai
Housemate lain sedang ke luar.
Saya di rumah.
Berusaha belajar.
Tugas kuliah saya banyak.
Belum lagi tuntutan thesis.
Sejam-dua jam, saya masih bisa belajar
dengan ditemani tayangan televisi.
Dan alunan musik.
Hingga saya merasa bosan.
Saya melongok ke jendela.
Tidak ada manusia.
Saya melangkah ke halaman depan.
Tidak ada manusia.
Saya pun duduk-duduk di depan.
Sambil berusaha membaca.
Tapi ternyata saya bosan luar biasa.
Berjam-jam saya duduk di luar.
Tidak seorang manusia pun melintas.
Saya stress.
Dulu Pimpinan saya pernah bilang: Ima punya manajemen stress yang bagus.
Tapi kemarin saya tidak mengerti kenapa seseorang pernah menilai saya demikian.
Kemarin,
Saya begitu tertekan ketika tidak mendengar suara.
Bahkan kicauan burung pun tidak ada siang itu.
Saya masuk kembali ke dalam rumah karena matahari semakin terik.
Saya bosan.
Saya ingin menelpon teman.
Tapi saya tahu mereka semua sedang stress dengan tugas dan ujian.
Saya ingin menelpon rumah di Jakarta
Tapi kartu telpon saya sedang habis.
Tanpa saya sadari,
saya mulai menangis.
Satu persatu tissue mulai membasuh muka saya.
Saya tidak menyangka, ternyata saya bisa begitu tertekan oleh sepi.
Ingin rasanya menghubungi Ibu saya
Tapi saya tahu Ia akan menangis.
Saya pun membatalkan niat saya.
Saya memilih merasakan sepi.
Perasaan yang paling tidak disukai oleh Ibu saya.
Beruntung, sempat saya rasakan
saya tidak suka!
tidak ingin lagi merasakannya
Jika bisa,
Tidak seorang pun akan saya biarkan merasa sepi.
***
Sewaktu saya kuliah
Saya hampir tidak pernah di rumah
Setiap hari saya ke kampus
Berangkat pagi
Pulang Malam.
Jika saya pulang lebih awal,
Ibu saya begitu bahagia dan berkata : "Halo...sayang, duh kangen deh sama anak Mama!"
Saya tidak pernah mengerti mengapa Ibu saya begitu; “ah Mama lebay ah..kayak ga pernah ketemu aja”
Meski sering pulang larut,
Saya selalu melihat makanan tertata rapi di meja makan.
Seringkali tidak saya sentuh.
Karena seharian saya makan di luar.
Kalau saya pulang diantar teman-teman, biasanya saya ajak mereka makan malam di rumah.
Esoknya Ibu saya akan bahagia sekali.
Melihat makanan di meja makan sudah tersentuh.
Ibu saya bilang : “senang Mama, kalau makanan nya abis dimakan”
Kini,
Setelah saya bisa memasak, saya baru paham bagaimana senangnya.
Kalau masakan kita tidak cuma dinikmati sendiri.
Karena menikmati bersama bisa menghapus rasa sepi.
Saya dulu tidak pernah tahu berapa lama Ibu saya biasa menanti saya pulang setiap hari.
Menanti makanan di meja makan tersentuh.
Hingga Ia seringkali terlelap dan harus melihat makanan yang sama masih utuh di meja hingga keesokan harinya:(
Kemarin,
Saya baru mengerti mengapa Ibu saya selalu menyambut gembira kedatangan saya.
Karena saya selalu membuatnya merasa sepi.
Setiap saya terburu-buru ke kampus di pagi hari,
Padahal ibu saya bangun lebih pagi untuk membuatkan saya susu dan roti.
Tapi saya lewatkan begitu saja karena saya takut terlambat kuliah
Saya terus membuatnya merasa sepi.
Hingga malam hari.
Hingga keesokan harinya lagi.
Maaf yah ma :(
***
Tak Heran,
Ketika saya kerja,
setiap kali dapat shift siang.
Ibu saya selalu berada di meja makan saat saya hendak berangkat kerja.
Ia akan memanggil dan berkata: “Im, temenin mama makan dulu dong”
Seringkali saya sempatkan karena : “pikir-pikir boleh juga buat berhemat :P”
Semoga saat ini, ada yang selalu menemani ibu saya makan siang .
Karena saya telah mengerti bagaimana sedihnya merasa sepi :(
Tapi mungkin bukan hanya saya, ibu saya, yang tidak suka sepi.
***
Di kos-an saya,
Setiap hari selasa ada seorang ibu yang datang membersihkan rumah.
Setiap kali saya hendak berangkat kuliah.
Ia akan bercerita panjang sekali.
Saya tidak tahu siapa yang diceritakan.
Saya tidak terlalu mengerti apa yang diceritakan
Tapi entah mengapa saya tidak pernah bisa menolak untuk tidak mendengarkannya bercerita.
Ia sangat suka bercerita.
Saat saya masih di kamar pun.
Ia akan mengetuk kamar saya dan bercerita.
Setiap hari selasa, teman sekelas saya pun bilang: “lo parah bgt sih kalau hari selasa telatnya”
Saya selalu tahu alasannya.
Terkadang saya merasa bodoh, kenapa saya tidak pernah belajar dari pengalaman.
Untuk meninggalkan rumah lebih awal setiap hari selasa
Hingga saya tidak perlu terlambat untuk sebuah cerita yang tidak terlalu saya mengerti.
Tapi sejak kemarin,
saya bersyukur,
saya selalu terlambat kuliah setiap hari selasa
Meski selalu 'terjebak” mendengarkan cerita panjang sang ibu.
Saya berharap kepasrahan saya bisa membuatnya bahagia
Semoga bisa sedikit mengurangi sepi.
Karena sepi ternyata begitu menyiksa.
Saya tahu Ia pasti pernah merasa sepi.
Ia selalu ingin bercerita.
Tak hanya bercerita
Tapi juga didengarkan.
Selasa lalu,
Saya sudah siap berangkat kuliah
Perkiraan saya tidak akan telat.
Saya sengaja tidak menyapa sang Ibu, saya cuma pamit pada housemate saya,
Mendengar suara saya,
Ibu itu mengejar saya.
Ia kembali bercerita.
Padahal saya sudah berdiri di pintu depan.
Saya pun mendengarkan.
Sekali lagi saya terlambat.
Tapi, sekarang saya yakin saya melakukan hal yang tepat
Saya mendengarkan seseorang yang ingin bercerita dan didengarkan
Sementara lebih dari 20 mahasiswa mungkin sudah mendengarkan dosen saya di kelas.
Ia tidak akan merasa sepi.
***
Kemarin,
Saya lupa membuang tumpukan tissue bekas tangisan saya
Menjelang malam, housemate saya pulang.
Saya ketahuan habis menangis cuma karena sepi.
Ia bilang: saya ada kelainan.
Mungkin saja benar.
Mungkin saja mereka yang tertekan oleh sepi punya kelainan.
Ibu kos saya pernah bilang: “pada akhirnya semua manusia akan sendiri..cuma antara manusia dan Tuhan”
Sepi
Kemarin,
Saya benar-benar tertekan.
Saat saya tidak melihat manusia
Saya bahkan mencari-cari kucing jantan yang biasanya saya takuti
Saya tertekan karena
tidak kunjung mendengar suara
tidak pula bisa sembahyang karena saya sedang berhalangan
Saya tidak tahu mau mengadu ke siapa.
Tapi sungguh saya merasa lebih nyaman dengan percaya akan adanya Tuhan
semoga mereka yang menyangkal-NYA bukanlah sebuah 'kelainan'
Dengan kelainan saya, saya berjanji:
Tidak sedetik pun, saya berani membiarkan setiap orang yang saya sayang untuk merasa sepi!
When He (Allah) alienates you from His creatures, then know that He wants to open for you the door of intimacy with Himself. - Ibn 'Ata'illah
ReplyDeleteIm... panjang banget.... bukannya ngerjain essay kok malah nulis blog :p
ReplyDeleteGejala seperti ini ada namanya im... namanya Homesick. hehehe
@ anonim : makasi ya :D
ReplyDelete@ ari : description blog gw aja udah "karena ima senang menulis", ya jelaslah panjang. emangnya "occasional ramblings" :P
gw klo nulis essay hrs dpt moodnya, ntar hrs naek tram dulu :P
ima.... yang sabar ya... sedih gw bacanya.
ReplyDeletetapi hikmah yang didapet dalem bgt kan. belajar ga cuma akademis, pulang-pulang nnti bisa jadi pribadi yang lebih kuat... :)
sepi karena secara fisik emang ga ada sapa2 di sekitar coburg ya ma? that's normal.
ReplyDeletetapi di jkt ini, bisa juga loh tnyata sepi...walo di sekitar kita bejibun org!
kangen road trip brg nih maaa...!
Ibu kostmu bener tuh Ma, sepiness is inevitable (pardon my Englindo). Punya suami dan anakpun teteup ngerasa sepi. Tapi sepi itu membuat lebih kreatif loh! Artikel ini adalah hasilnya. Seperti halnya rasa kebosanan yang juga meningkatkan kreatifitas. Seringkali orang lupa kalau kita sebenarnya perlu merasakan yang nggak enak juga. It is like consuming chocolate and snack all the time without eating vegies. It is diet time.
ReplyDeleteBtw, gw jadi kepikiran bikin training management kesepian dan kebosanan nih, hehe..