Saturday, February 19, 2011

k u m u h

Kemarin saya liputan ke daerah kumuh di jakarta utara,
wilayah dengan prosentase kemiskinan terbesar di jakarta.

Hari itu, saya ditugaskan untuk mengambil cerita warga di pinggir rel kereta yang terancam digusur tanggal 1 maret nanti.

Digusur karena daerah sekitar rel harus steril untuk mendukung kinerja sarana transportasi.

Saya pun pergi ke pemukiman kumuh di belakang stasiun kota.

Ketika sampai di sana, saya merasa familiar dengan daerah itu.

Oh saya pernah berkunjung ke sini tahun 2008

Saya pun kembali menapaki jalan yang kotor (hm sebenarnya terlalu kotor)

Kembali berusaha memahami bahwa rumah ternyata 'bisa' terbangun hanya dalam satu ruangan kecil (kamar, ruang makan, dapur, ruang keluarga semua berada dalam satu ruang).

melihat kerumunan warga duduk duduk di 'teras' rumah.

Melihat anak-anak kecil berlarian di rel kereta api.

Melihat seorang ibu berusia 60tahun menjemur nasi aking di tengah rel (disaat bersamaan kereta melaju mendekati si ibu yg 'asik' menjemur nasi yg 'tidak layak' lagi untuk dikonsumsi)

Bahaya.

Tapi kebanyakan dari mereka tidak sadar bahwa menetap di kawasan pinggir rel sama saja dengan mendekati bahaya.

Kata pak Radi, warga yg berjualan buah-buahan segar : "nyaman enak tinggal di sini banyak teman, langganan saya udah banyak.

Pak radi, 70 tahun, setiap lepas subuh berbelanja aneka macam buah di pasar beos

Dibantu sang istri (yang siang itu 'tidak sadar' hampir tertabrak kereta), pasangan ini berjualan buah ke warga sekitar.

Setelah 3 jam mengitari 'perumahan' pinggir rel, pak radi bisa istirahat di rumah dan mengantongi 80ribu rupiah setiap harinya.

Dapet uang, nyaman, dan Aman <- kata pak radi.

Lebih enak daripada di kampung.
Di kampung tidak ada uang.

Menjelang siang,
Saya pun kepanasan, he.
Saya lantas menumpang 'ngadem' di rumah warga.
Kebetulan juru kamera sedang solat jumat.
Jadi saya bisa istirahat sambil bertamu.

Ketika itu pula,
Saya sadar saya tidak lagi bisa merasakan hal yg sama seperti ketika saya pertama kali berinteraksi dengan warga di daerah kumuh beberapa tahun lalu.

Kemarin, entah kenapa Saya tidak sedikitpun merasa sedih.

Saya tidak juga merasa prihatin.

Karena dulu saya sudah berkali-kali melihat dan berkenalan dengan daerah kumuh

Memang hidup mereka seperti itu, pikir saya.


Hingga saya melihat beberapa anak sekolah tersenyum dan sesekali menarik tas saya.

Saya iseng bertanya: "kelas berapa dek?"

Mereka pun menjawab sesuai tingkat mereka di sekolah.

Ada yang menjawab; kelas 4 dan kelas 5.

Saya iseng lagi bertanya: "suka gak sekolah? Mau sekolah sampai kelas berapa?"

Seseorang diantara mereka menjawab: "suka, pengen belajar buat masa depan. Pengen sekolah sampai kuliah"


Saya pun terdiam.

Melihat perempuan-perempuan di sekitar yang telah dewasa dan kini bekerja sebagai buruh cuci dan buruh gosok di apartment terdekat.

Saya lantas mengalihkan pandangan ke seorang anak lainnya;

Ia bilang: "suka sekolah, tapi katanya mau dimasukkin pesantren aja abis klo smp kan udah gak gratis kak!"

Saya pun mengangguk,
Dan akhirnya 'bisa' merasa sedikit sedih.

Tak lama kemudian,
Juru kamera saya telah selesai sholat jumat.

Kami pun melanjutkan berkeliling untuk melengkapi gambar.

Kembali merasa kepanasan, Saya ngadem lagi he.

Duduk duduk di teras ibu2 sekitar.

Saya pun asyik membaca tweets teman2 via ponsel. (<-harus saya akui adanya layanan internet tanpa batas di handphone memang membuat saya seringkali lupa untuk menghargai orang di sekitar).

Sesekali saya 'berbasa basi' dengan ibu-ibu di sebelah saya,
Tapi mata saya asyik menatap layar ponsel.

Lalu seorang ibu tiba-tiba mendekati saya; "mbak, kalau anak2 autis itu yayasannya dimana yah?"

Saya teringat sebuah tempat yang pernah saya liput tahun 2008: "wah di bekasi bu, jauh!"

Ibu itu meneruskan: "wah di bekasi ,naik apa yah kalau kesana"

Ibu itu menanyakan jalur bis dan jujur saya tidak paham jalur ke bekasi.

saya cuma paham rute lebak bulus_depok, lebak bulus_ blok m dan lebak bulus_ palmerah <-kantor terbaru saya ;p

Saya lantas bertanya: "emang siapa yang autis bu?"

Ibu: "adek saya paling kecil, ini yang tadi jongkok dekat mba, masa gak liat?"

Saya menggeleng. (Uh,sial pengaruh blackberry )

Anak yg dimaksud lantas melintas di depan saya, kakaknya pun berkata:
"Yang ini mba, gabisa ngapa2in anaknya udah 13 taun, cuma saya aja yg ngurusin, pengen saya taruh yayasan"

Saya pun mendengar selentingan ibu-ibu lain;
"yah masa ditaruh yayasan gak kangen apa"

Atau:

"Berharap ketabrak kereta gak ketabrak tabrak"


Duh!

Saya lalu bertanya; "orangtuanya kemana bu?"

Ibu: "yah udah meninggal, saya bukannya gamau ngurus, tapi saya kan lagi hamil bentar lagi melahirkan, saya takut gabisa ngurus dia, makanya minta tolong kalau mba tau tempat untuk anak2 autis yg gak mampu"

Saya menatap wajah si anak yang khas; "memang ibu tau darimana anak ini autis?"

Ibu: "yah waktu itu saya lihat di televisi, katanya kalau anak mukanya kayak gini itu namanya autis, dimana yah mba tempat buat anak2 autis?"

Sejujurnya saya tidak yakin anak itu autis.
Saya pun meraih ponsel saya: "bentar bu, saya liat2 dulu di internet, siapa tau ada alamatnya"

Tak lama kemudian saya menemukan alamat "Rumah Autis", rupanya sudah punya cabang di jakarta utara. <-Senang :)

Di sebuah artikel tertulis bahwa rumah autis tidak hanya menerima anak2 autis, tp juga mereka yg mengalami down syndrome.

Saya lalu meminjam pulpen dan buku si ibu lalu mengembalikannya.

Si ibu pun membaca alamat di buku itu, lalu berkata;

"Wah murah, ongkosnya cuma tiga ribu"


Saat itu, saya pun tersenyum, bukan merasa sedih.

Mungkin disitu ada sesuatu yg salah,

beberapa kali melihat kemiskinan dari luar dan dalam, secara perlahan mulai mengikis kepedulian yg pernah ada.

Kekecewaan terhadap negara dan 'budaya' yg terlalu mengakar' membuat saya berpikir bahwa para doktor dan profesor sebaiknya meninggalkan negara ini.

Toh kepintaran mereka seringkali harus berbenturan dengan 'negara'

Selalu saja mereka tidak dihargai oleh negara.

Tapi rupanya,

di sini juga, siapapun sepertinya dengan mudah bisa merasa lebih berguna.


:)

***


Ps: kalau ada yg mau bantu ibunya;
Hp:02197330931
Alamat: Jl kampung muka rt 09 rw 04 kel ancol kec pademangan jak ut. Patokan stasiun kota/ masjid attaubah/ hotel alexis

Wednesday, January 05, 2011

ibu... (aku menyesal)

Kemarin lusa,
saya bertengkar dengan ibu saya.
Lebih tepatnya dimarahi.

Dimarahi dengan kata-kata yang menurut saya jahat.
Membuat saya menangis.

Malam itu juga saya pergi meninggalkan rumah,
menjemput adik saya.

Ketika bertemu dengan adik,
saya mengajaknya makan masakan Jepang <- saya memang selalu ingin masakan Jepang setiap kali merasa sedih,entah kenapa.

Tak lama kemudian,
saya bercerita pada adik tentang 'pertengkaran' saya dan Ibu.
Adik saya lalu menenangkan saya: "kasian kakak, mama 'jahat' yah"

Saya berkata:

"iya, jahat, tapi kakak juga kasian. Kakak bisa ngerti kenapa Mama ngomong begitu, kan emang kakak belum bekerja, belum menikah juga. tapi tetep aja kata-katanya itu bikin kakak nangis, kakak pokoknya gamau pulang  kalau Mama belum tidur!"

Adik saya lalu berkata:

"iya, Mama itu gak nyadar kalau marah-marahnya dia itu benar-benar nyakitin orang, dia abis marah-marah bisa aja terus ngomong: "dek, ayo makan!",
udah gitu kita selalu diam, kita selalu ngikutin maunya Mama. jadi dia gatau kalau itu salah".

Adik saya, lantas menjelaskan teori-teori psikologi dan berkata:
"kasian kakak, kakak ga pernah punya ibu secara psikologis, kakak cuma punya ibu biologis"

Jujur, baru kali itu, saya mendengar pandangan bahwa saya cuma punya ibu secara biologis.

Saya memang sering melihat bagaimana ibu-ibu lain memperlakukan anak-anaknya dengan cara yang berbeda dengan bagaimana ibu saya memperlakukan saya.
Tapi saya tidak pernah berandai-andai untuk merasakan perlakuan yang 'keibuan' seperti itu.
Saya pikir, setiap ibu itu memang berbeda.

Malamnya, kami pun pulang.
Ibu saya sudah tidur.
Entah kenapa, saya masih merasa sedih.
Hati saya masih terluka dengan perkataan ibu saya beberapa jam sebelumnya.

Saya lantas menulis di blog,
membandingkan ibu saya dengan ibu-ibu lain.
Ibu yang bukan hanya ibu biologis.
seperti yang saya miliki.

***

Esoknya, saya haid.
Tidak seperti biasanya, kali ini perut saya sakit sekali.
Jika biasanya saya sering mual,
kali ini saya mual, perut saya sakit, kepala saya sakit,
sampai saya tidak bisa konsentrasi mendengarkan ibu saya
ketika Ia marah karena saya lupa memasak nasi.

Saya cuma bisa berkata: "ma, ima ga dengar mama ngomong apa, ima sakit lagi haid"
Ibu saya berkata: "ke dokter im, periksa!"
Saya menjawab: "udah Ma, gak ada apa-apa, emang hormonal, tapi kali ini emang sakit banget!"

Saya lantas berbaring di sofa,
Muntah dua kali.

Ketika mual saya pun hilang, saya belum juga merasa sehat.

Saya pun memilih berbaring di kamar.
tapi rupanya saya masih harus ke kamar mandi.

Saya pun melangkah ke kamar mandi di kamar ibu saya.
Ibu saya sedang sholat.
Saya 'sibuk' di kamar mandinya.

Sakit perut.
membersihkan yang harus saya bersihkan.
Muntah dengan begitu mudah dan tidak bersuara.
Kembali sakit perut.

Lalu saya berbaring lemas di tempat tidur Ibu saya.

Dalam hati saya berkata: "ya Allah, saya tidak terbayang bagaimana sakitnya ketika ibu melahirkan saya, hari ini saya benar-benar merasa letih hanya dengan sakit yang saya rasakan baru beberapa jam. Saya tidak peduli lagi istilah ibu secara biologis ataupun psikologis. Menjadi ibu secara biologis pun sudah membutuhkan banyak pengorbanan!"

Selepas solat, ibu saya berkata: "udah enakan belum Im? barusan Mama doain biar hilang sakitnya.."

Sambil berbaring, saya berkata: "udah Ma, makasih"

Ibu saya lantas beranjak dari sajadahnya, dan melihat saya terbaring di tempat tidurnya:
"Ya Allah, ima pucat banget! kasian anak Mama"

Ia lantas mengoleskan minyak ke perut saya sambil berdoa.

Sambil menatapnya, saya meneteskan air mata.
Teringat tulisan saya di blog ketika hati saya merasa sedih hanya karena amarah sementara ibu saya.
Saya menyesal.

Seharusnya saya bersyukur,

Bibir ini tidak pernah berani mengeluarkan kata-kata jahat,
karena sejak kecil saya paham sedihnya mendengar kata-kata yang jahat.
Dan seharusnya tangan ini pun tidak berani menuliskan kata-kata
yang terangkai dari pemikiran yang jahat,

Oh, ibu...aku menyesal  :'(