Wednesday, July 22, 2009
Klise: sekolah ternyata kebutuhan bukan sekedar kewajiban
Siang itu,
Saya nebeng teman menuju pusat perbelanjaan
Teman saya mau pulang ke rumah.
Saya ada janji di pusat perbelanjaan.
Mendekati pusat perbelanjaan.
Ia meredam laju motornya lantas berujar: “Daritadi gw ngomong kok lo diem aja sih..”
Saya: “Yah gw gak kedengeran kali di belakang…”
Teman: “Oh…gak denger, Hm… sayang ya kita ketemunya telat..
coba dari dulu kita kenal…pas gw masih sma”
Saya: “Iya sayang emang…aturan kan gw kan bisa hemat ongkos bertaun2!
udah berapa coba tabungan gw kalo dari dulu nebeng lo..”
Teman: “Taaaa*!”
Ima: “Hahaha…lo juga!”
Teman: “Haha, Taaa*…yaa, sayang aja gue kenal lo telat…kalau gak kan…”
Ima: “Apaan si…lo dah punya pasangan juga...dah ya gw cabut”
Temen: “Yeee…kenapa si lo? Gw kan cuma ngomong doang!”
Ima: “Sama! gw juga cuman ngomong doang :p”
Temen: “Haha….yaudah gw balik deh…makasi lo mau naik motor gw”
Ima: “Sip, makasi tebengannya…hati-hati”
Temen: “Eh, ima….”
Ima: “Apa?”
Temen: “Lo sekolah jangan tinggi-tinggi, lo perempuan…
jangan sekolah tinggi-tinggi..ntar pada takut”
***
Waktu kecil,
Saya malas sekali sekolah karena tidak suka bangun pagi
Abah saya pasti marah: “Bangun…sekolah!”
Saya pasti protes: “Kenapa si harus sekolah?!”
Abah saya bilang: “Sekolah penting, biar berilmu, mau jadi apa kalau gak sekolah?”
Ima: Oh sekolah biar bisa kerja, biar punya uang?
Abah: “ya mau jadi apa kalau gak sekolah? Kalau gak punya ilmu, harta itu pasti habis, kalau ilmu tidak ada habisnya… orang yg berilmu bisa mencari harta dan mengatur biar hartanya tidak habis”
Saya pun selalu berpikir : Sekolah biar kaya kelak.
Setiap dapat buku baru dari sekolah: saya menuliskan nama saya : Prof. DR. Fatimah Alatas
Hihihi
Saya berhenti menuliskan nama dengan gelar, saat saya meragukan abah saya
Ternyata apa yg saya pahami saat itu tidak sesuai dengan kenyataan.
Mereka yang tidak berilmu seringkali kaya
Mereka yang berilmu tidak selalu kaya
Saya protes: “Gimana si, kok Prof itu…udah profesor rumahnya jelek…
Si itu ga pernah kuliah rumahnya banyak…mobilnya bagus-bagus”
Saya cuma dinasehati: “Sekolah pokoknya penting! Pokoknya wajib sekolah”
***
Setiap hari saya sekolah.
Meski saya malas bangun pagi.
Pagi hari selalu diawali dengan terburu-buru.
Akibatnya saya sering salah pakai seragam
Harusnya pakai rok putih, saya pakai rok merah
Harusnya batik dipakai hari sabtu, saya pakai hari senin.
Saya ingat kalau salah pakai baju hari senin, saya berdiri di lapangan
Bersama mereka yg lupa bawa topi, bawa dasi, dan lain-lain
Beberapa kali saya hampir pingsan kalau upacara karena belum sempat sarapan
Tapi, Beruntung saya pernah sekolah
Di sekolah, Saya belajar untuk tidak mudah dibodohi.
Karena sahabat pun suatu ketika bisa memiliki niat buruk
Waktu SD, Saya selalu memilih duduk di belakang.
Akibatnya, Saya sering lengah dengan apa yang diterangkan guru
Saya ingat sekali, guru saya Pak Mardi pernah menegur: “Iya ima becanda terus di belakang, coba jabarkan singkatan dari Jabotabek?”
Tidak mengikuti pelajaran, saya pun tergagap-gapap : “ee….eee…eee…
Saya mendengar sahabat saya berbisik:
“Ima ima….Jabotabek = Jakarta botak bebek”
Saya tahu dia berbohong
Tapi saya terlalu bodoh dan tidak punya jawaban lain.
Pak Mardi terus menunggu jawaban saya: “Apa ima singkatan JABOTABEK?!! Coba jawab segera!”
Entah mengapa saya terjebak, saya pun menjawab dengan lantang: “JABOTABEK= JAKARTA BOTAK BEBEK!”
Pak Mardi tertawa.
Teman saya tersenyum puas.
Saya malu dan mengumpat.
Waktu SMP,
Dari sekian banyak pelajaran, cuma satu pelajaran yang saya suka.
Pelajaran yang tidak perlu banyak usaha
Cukup melihat dan mengerti
Saya selalu dapat nilai hampir sempurna pada pelajaran tersebut.
Tapi tidak demikian dengan pelajaran lain yang mengharuskan banyak membaca
Tapi beruntung saya pernah sekolah.
Jika setiap manusia secara alamiah memiliki kelebihannya masing-masing
Sekolah, mengajarkan untuk tidak terlalu sombong.
Terlalu yakin dengan kemampuan saya pada pelajaran itu,
Saya selalu menggunakan jam pelajaran itu untuk mengerjakan tugas yang lain.
Hingga suatu ketika, guru saya marah luar biasa,
Saya dicubit di lengan dan di hati.
Ia bilang: “Oooo begini…mentang-mentang selalu dapet angka sempurna, terus bisa se-enaknya ga merhartiin pelajaran saya, iya gitu?
Berani sekali kamu, sombong sekali! Lain kali tidak usah ikut pelajaran saya, di luar lebih baik!”
Saya terkejut, malu.
Saya pun minta maaf.
Pulangnya saya menangis.
Saya menangis karena kelebihan tertentu telah membuat saya menyakiti sang guru
Beruntung,
Sekolah mengajarkan untuk memanfaatkan kelebihan tanpa berlebihan.
Sekolah mengajarkan untuk memanfaatkan kelebihan untuk menghormati bukan untuk menyakiti!
Waktu SMA,
Saya suka sekali sekolah.
Karena sekolah menjadi ladang perdagangan yang menguntungkan :p~
Setiap hari, tas saya berat.
Tapi isinya tidak pernah buku, melainkan barang dagangan
terkadang, isinya puluhan koleksi vcd abah saya yang saya sewakan pada teman-teman
terkadang, isinya aneka ragam dagangan saya
Sebut saja parfum, kosmetik, sepatu, makanan dan lain-lain
Saya terus mengembangkan hobi, hingga bangku kuliah.
Dulu,
Kuliah di jurusan non-eksakta seringkali membuat saya merasa bodoh.
Beruntung kuliah mengajarkan untuk tidak pernah merasa bodoh.
Di kampus UI,
Saya punya satu dosen favorit.
Orangnya bijak
Nilai saya tidak pernah bagus pada pelajaran sang dosen.
Tapi Ia tidak pernah membuat saya merasa bodoh.
Saya ingat suatu hari Ia pernah berkata:
“Jika seseorang tidak bagus pada suatu bidang, maka bukan berarti dia bodoh,
Karena dia pasti pintar di bidang yang lain”
Pada suatu ketika,
Ia membagikan hasil ujian.
Satu kelas mendadak tegang.
Karena itu pelajaran paling susah saat itu.
Buat banyak teman susah dari segi materi.
Buat saya sulit dari segi materi dan bahasa.
Saya ingat, saya tidak bisa mengerjakan ujian.
Karena saya tidak mengerti apa yang saya pelajari.
Semalam sebelum ujian, saya terus menghapal
Tapi saya menghapal dalam bahasa yang saya tidak tahu maknanya.
Ketika ujian,
Saya tidak mengerti arti pertanyaan.
Tidak pula mampu menjabarkan pikiran saya dalam bahasa asing.
Saat tiba giliran kertas ujian saya dibagikan,
Saya melangkah lemas.
Saya tahu pasti dapat jelek.
Saya melirik kertas ujian saya,
Nilai saya jauh dari cukup. Dibawah 20 , skala 100
Dosen saya berkata: “Aduh ima, bagaimana si kamu?”
Saya menyiapkan telinga untuk makian sang guru.
Ia meneruskan: “Kamu pasti gak belajar ya?”
Saya menjawab: Saya belajar bu….
Belum sempat saya meneruskan kalimat saya,
Ia berkata: “Mana? kamu pasti ga belajar…kamu tahu..kalau kamu belajar…kamu bisa lebih baik dari ini…saya yakin!”
Ia pun mengembalikan kertas ujian saya.
Saya menerima lembaran sembari tersenyum.
Saya suka cara dosen saya : cara orang berpendidikan.
Jika kepintaran dan pemahaman bisa diukur dengan angka
Maka angka ujian saya menunjukkan ketidakpahaman dan kebodohan.
Tapi orang berpendidikan tahu cara tepat untuk menempatkan orang bodoh tanpa harus membuat mereka merasa bodoh.
Saya kembali ke bangku saya.
Melihat kertas ujian saya.
4 halaman polio..
hanya halaman depan dan belakang yang saya isi…
Dua halaman di tengah…kosong tanpa jawaban.
Teman-teman tertawa terpingkal-pingkal: “Yah mending gw…biar dapet belasan…tapi 4 halaman di isi, hahaha”
Saya ikut menertawakan kebodohan saya.
Tapi,
Diantara kami yang tertawa…
Ada mereka yang menangis.
Mereka yang telah berusaha keras, tapi tidak juga mendapatkan nilai baik
Mereka yang selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik.
***
Maret 2006,
Saya menghadiri wisuda kakak saya di salah satu institut swasta.
Ini bukan institut negeri, ataupun institut favorit
Tapi, hari itu semua mahasiswa bahagia mendapat gelar insinyur.
Dan di institut inilah, saya mendengar salah satu pidato terbaik.
Pidato Pak Habibie.
Diatas podium, Ia berkata:
“Hari ini kalian lulus, bersama dengan ribuan sarjana lain di Indonesia...
perjuangan kalian belum selesai...kalian masih harus bersaing dengan lulusan perguruan tinggi negeri, lulusan luar negeri…dan lain lain…
tapi Jangan takut..
hidup bukan Cuma untuk mereka yang terbaik…. hidup juga untuk mereka yang mau memanfaatkan kesempatan!”
***
Ramadhan 2007
Saya ditugaskan untuk berkunjung ke kampung para pengemis.
Di sana saya mengenal Ibu Sartinah dan keluarganya yang ramah :)
Usia Ibu Sartinah melebihi separuh baya
Setiap hari Ia mengemis di sepanjang jalan pasar minggu
Sementara sang suami yang lumpuh bertugas di stasiun Depok Lama.
Selepas subuh, Sartinah telah siap bekerja
Dengan mangkuk kecil Sartinah melintasi satu kios ke kios lainnya di pasar minggu.
Saya tanya pada Sartinah: “Bu, mengemis itu kata orang hina, dari sekian banyak pekerjaan, kenapa memilih untuk mengemis?”
Sartinah bilang: “Abis saya mau kerja apa neng? Saya gak pernah sekolah…mau kerja jadi pembantu gak bisa..gak ada orang yg mau nerima nenek-nenek kayak saya”
Sartinah benar.
Lapangan pekerjaan yang tersedia tidak bisa memberdayakan Sartinah.
Tapi Sartinah tetap bisa hidup
Pendapatan Sartinah setiap bulannya setara dengan standar gaji lulusan S-1 Universitas Indonesia.
Dengan kapasitas ‘tidak pernah sekolah’, Sartinah bisa menghidupi 4 orang anaknya dan suaminya yang lumpuh karena Sartinah bisa dan mau memanfaatkan kesempatan.
***
Sartinah pun menjadi salah satu inspirasi saya untuk memanfaatkan kesempatan.
Saya sekolah lagi,
Nilai saya biasa-biasa saja.
Dua kali, saya kecewa karena cuma mendapat nilai ‘rata-rata’ , terkena penalti sekian persen akibat tidak disiplin.
Tapi,
Beruntung sekolah mengajarkan saya untuk belajar menerima konsekuensi dari melanggar peraturan.
***
Hari minggu kemarin,
Saya menonton tayangan dokumenter berbagai peristiwa peledakan di Indonesia.
Pada tayangan tersebut, saya melihat seorang pelaku peledakan di tahun 2000, diwawancara.
Jurnalis: “Apa bapak tidak tahu bahwa perbuatan itu melanggar hukum?”
Pelaku bilang: “Saya tidak tahu, saya tidak mengerti yang gitu-gitu!”
Jurnalis: “Apa tidak ada perasaan bersalah?”
Pelaku: “Yah semua pasti bilang saya bersalah….tapi kan wallahualam, cuma Allah yang tahu”
Saya terperangah.
Orang ini tidak mengerti, tapi berani sekali melakukan aksi berbahaya
Seandainya saja mereka pernah mengalami proses untuk mengerti, mungkin keberanian akan berujung pada proses yang menguntungkan bukan membinasakan
Orang ini perlu sekolah.
***
Jika dunia penuh dengan kebodohan
Sekolah mengajarkan untuk tidak mudah dibodohi
Jika dunia dianugerahi dengan potensi,
Sekolah mengajarkan untuk tidak berlebihan dalam memanfaatkan potensi.
Sekolah bahkan mengajarkan untuk memanfaatkan potensi tanpa menyakiti orang lain.
Tidak ada yang perlu ditakuti dengan menjadi berpendidikan.
Pengalaman saya selama menempuh pendidikan hingga saat ini,
Tidak pernah membawa saya menjadi yang terbaik.
Mungkin bukan atau belum kapasitas saya.
Tapi saya selalu ingat kalimat Pak Habibie
Habibie bilang:
“Hidup bukan hanya untuk mereka yang terbaik, tapi juga untuk mereka yang MAU memanfaatkan kesempatan”
Saya sepenuhnya sependapat.
Dan sekolah menciptakan kesempatan untuk mereka yang bisa dan mau menjadi lebih baik :)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Imaaaaaaaaaaaaaa....keren deh tulisannya...
ReplyDeleteJadi smangat gueeeeeee
makasi banyaak waaaaaaaaaaaaan....he
ReplyDeletelo kan slalu smangat emang! kan lo VJ..he
guwa baru baca imah, seger bacanya....:) menarik sekali.
ReplyDeletebagus bgt teh! Jadi inget, kalo dulu pas SD gw juga sering disetrap berdiri pas upacara krn ga pake topi. Tapi karena gw ga punya topi soalnya gw ilangin mlulu n nyokap hukum ga mau beliin topi lagi. Huhuhu..jadi stiap ari senin gw harus lari ke ruang guru buat minjam topi, kalo ga dpt yah..nasib dah disetrap..hehhee.. =p
ReplyDeleteMakasih juga yah..gw jd semangat! :D