Thursday, January 07, 2010

Aku ingin memasak untuk Mba Naili :)







Hari itu, Jumat, 25 December 2009
Seharusnya saya pergi bersama housemates saya ke Albury.

Tapi, karena beberapa hari terakhir saya sakit.
Saya memutuskan untuk diam di rumah.

Bukan di rumah saya, tapi di Rumah Mba Naili.

Sebuah rumah kecil di kawasan Brunswick.

Banyak mahasiswa Indonesia di Melbourne berkata: “Rumah Naili itu rumah paling murah di Melbourne!"

Murah karena rumah yang harusnya ditempati 2 orang ditempati oleh 3 mahasiswa

Satu dari tiga mahasiswa menempati ruang tamu yang dialihfungsikan menjadi kamar tidur.

Beberapa bulan yang lalu saya bertanya pada Korri, mahasiswa Indonesia yang sedang mencari akomodasi:“Kor, lo kenapa gak pindah ke rumah Naili aja, kan deket”

Korri bilang: “yah bukannya apa-apa, tapi gue ga bisa, terlalu kecil”

***

Terlalu kecil.
Memang begitu faktanya.
Kecil, tapi tidak pernah mengurangi makna sebuah kenyamanan.

Sejak kecil, saya biasa dibesarkan di rumah yang ‘kecil’.
Ibu saya selalu mengeluh ‘rumah kami kecil’.
Mungkin karena masa kecil dan remaja Ibu saya selalu dihabiskan di rumah yang ‘lapang’.

Tapi di rumah kecil lah, saya, kakak dan adik tumbuh menjadi saudara yang dekat.
Karena rumah yang kecil telah ‘memaksa’ kami menjadi terlalu dekat;
Dekat secara fisik maupun emosional
Kedekatan yang mau tidak mau terbangun dalam rumah yang kecil.

***

Rumah yang kecil,
Seperti rumah Mba Naili =)

Awal November 2009 adalah hari pertama saya menginap di rumah Mba Naili.

Sepanjang bulan Oktober, saya begitu tertekan.
Beberapa kali, Saya tidak bisa tidur, padahal saya punya tanggung jawab mengerjakan tugas-tugas saya.

1 November 2009, tiba-tiba saja, jemari saya menelpon Mba Naili
Kala itu jam 6 pagi, banyak teman tidak mengangkat telepon saya.
Tentu saja mereka belum bangun.

Entah kenapa saya pun menelpon: Naili Huda.

Seorang mahasiswa engineering di Melb U
Seorang member Fitness First di Melbourne Central
Seseorang yang pernah saya temui ketika berbelanja di Barkly Square, Sydney Road.
Seorang teman yang saya kenal ‘sekedarnya’

Seseorang yang Cuma saya sapa ketika berjumpa di perpustakaan dan seringkali di Tram 19.

“Tut…Tut…TuT”
Dan diangkat.

Naili: “Halo…”
Ima: “Hai Mba, sorry, ganggu pagi-pagi, aku boleh nginep situ ga? Aku pengen belajar bareng”
Naili: “Oh boleh datang saja! Aku tunggu, See you soon”

***
Saya pun merapikan buku-buku saya, membawa beberapa lembar pakaian, dan naik tram 19 menuju stop 27.
Sesampainya di Stop 27.
Saya lupa dimana rumah Mba Naili.

Saya kembali menelponnya: “Mba, aku lupa rumahnya yang mana ya?”
Naili: “Unit 1/ 30 Davies Street”

Saya pun berjalan menyusuri Davies St.
Dari kejauhan, mba Naili melambai-lambai di depan sebuah bangunan bertuliskan “Winston Court”




Sesampainya di sana,Mba Naili berkata: “Udah makan belom? Kalau mau apa-apa, ambil langsung yah di dapur, kalau mau jus, yoghurt, biscuit, cokelat, cemilan, buah semuanya ambil saja yah, anggap rumah sendiri”.

Mba Naili pun membantu saya membawa barang-barang ke kamarnya.

Sebuah kamar dengan lemari putih yang besar.
Ia lalu, merapikan barang-barang di lemarinya dan menyisakan ruang untuk barang-barang saya: “Ini kalau kamu perlu untuk meletakkan barang-barang kamu”

***

Di rumah itu,
Tidak hanya ada Mba Naili, tapi juga Imas dan Yuli.
Mereka semua mahasiswa pascasarjana di Melb U.

Belum seminggu saya menginap di rumah itu,
Datanglah Muli.

Muli seorang mahasiswa Indonesia asal Papua.
Ia pun kuliah di Melb U

Beda dengan kami, kampus Muli bukan di sekitar City, melainkan di Creswick.
Kala itu, Muli menginap di rumah Naili karena Ia ada kuliah seminggu di Kampus Parkville.

Ketika berkenalan dengan saya,
Muli bertanya: “Ima juga tinggal di sini?”

Saya menggeleng: “nggak, saya lagi numpang belajar aja… abis stress kalau belajar sendiri…sepi banget di Coburg”

Muli: “waah, di Coburg aja kesepian apalagi Creswick….lebih sepi lagi”

Ima: “oh ya? Lebih sepi ya? Stress dong tinggal di sana?”

Muli: “gak juga…Ima dari Jakarta sih…kalau saya kan Anak Papua, udah biasa sepi, kalau di Jakarta malah gak betah!”

Ima: “Oh ya kamu dari Papua? Waah…keren banget…saya pengen banget ke Papua…tapi mahal sih tiketnya…entar kalau kapan-kapan saya ke Papua, temenin jalan jalan yah!”

Muli: “ayooo aja…tapi kalau ke Papua, jangan mau yah kalau diajakin orang jalan dekat… karena ‘dekat’ di Papua artinya melintasi 2 gunung!”

Ima: :Huaha, masa si?…gapapalah, aku blom pernah melintasi gunung, boleh lah sekali-kali!”

Muli: “wah ima aja deh..aku sih gamau…”

Hahaha

***

Itu dia Muli.
Mahasiwa ‘wood science’ di Melbourne Uni
Seperti saya, Muli menumpang menginap di rumah Naili.

Setiap pulang ke rumah Mba Naili, Muli membawa banyak belanjaan.
Isinya Berbagai bahan makanan. Banyak sekali.

Pertama melihatnya saya Cuma tersenyum.
Esoknya saya tersenyum lagi.

Lama-lama saya tidak tahan ingin tertawa: “Mullliiiii….belanjaa mulu tiaap hari…mau buka warung Muli di Creswick?”

Muli: “he, maklum lah Ima, di Creswick gak ada apa-apa..Cuma ada satu supermarket, kecil lagi”

***

Seminggu berlalu, Muli pun kembali ke Creswick.
Membawa pulang koper berisi barang belanjaan :P

Minggu ketiga November, tugas-tugas saya pun rampung.
Saya pun meninggalkan rumah Mba Naili dan kembali ke rumah saya.

***

Tapi, kebaikan rumah Mba Naili begitu berkesan.
Selama tiga minggu, saya dibiarkan menginap gratis, disuguhi berbagai santapan dan kehangatan rumah :)

Setiap saya belum pulang hingga larut,
Saya akan ditelpon atau menerima pesan pendek berbunyi: “Kamu pulang ke rumah gak? Pulang jam berapa?”

SMS seperti itu selalu saya terima saat saya hanya menumpang.
Baik Mba Naili, Imas, dan Yuli memperlakukan saya seperti penghuni rumah.
Saya merasa diperlakukan seperti halnya saudara

***

Sejak kecil,
Baik saya, kakak, dan adik dibiasakan untuk ‘harus’ mengkhawatirkan satu sama lain.
Sebenarnya hanya Abah yang selalu khawatir.
Tidak seperti Mama yang santai, kadang saya merasa Abah saya berlebihan.

Sewaktu adik perempuan saya mulai beranjak remaja.
Abah saya selalu khawatir setiap Ia berpergian bersama teman-temannya.
Ia akan terus menelpon adik saya menanyakan keberadaanya.

Terkadang saya dan kakak ‘gerah’ melihatnya: “Santai aja napa si bah!”

Abah: “Abah gabisa tidur, bantuin dong telponin adek ada dimana, bilangin suruh cepat pulang!”

Ketika adik saya pulang, Ia hanya akan tersenyum
Rupanya Ia memang terlalu khawatir.

***

Kegusaran abah berlaku untuk semua anak.
Namun, ketiga anaknya selalu punya trik yang sama: Menunda mengangkat telepon Abah atau mematikan telepon :P

Sadar dengan kebiasaan anak-anak,
Abah pun lebih sering meminta salah satu dari kami untuk menghubungi anak yang sedang Ia khawatirkan.
Meski ketiga anaknya sedang berada di luar rumah.

Sewaktu sedang menginap di rumah teman, beberapa kali saya diminta ‘mencari’ kakak atau adik saya.
Sewaktu saya berpergian hingga malam pun, kerap kali saya menerima sms dan telpon dari kakak dan adik. Mereka semua mem forward ‘perkataan’ abah. Hehehe

***

Semester lalu,
Saya sedang pusing mengerjakan tugas di kamar.
Kala itu sedang exam week.

Abah saya mengirim sms: “Ima tolong hubungi Kak ali, dia lagi butuh dukungan, lagi ada masalah”

Tak lama kemudian, adik saya menelpon.
Mau tidak mau, saya pun mengobrol dengan kakak saya yang sedang pusing.

Pusing dengan tugas tugas-tugas saya, saya memilih mempercepat pembicaraan telepon: “Kak, maaf kak, ima lagi ngerjain tugas nih.. ini udah jam 3 pagi disini”

Tapi rupanya, percuma mengakhiri pembicaran tanpa menyelesaikan masalah.
Semalaman saya tidak bisa tidur, karena memikirkan kakak saya.

Khawatir.
Mungkin seperti itulah perasaan Abah setiap anak-anaknya belum pulang ke rumah.

***

Di Rumah Mba Naili, Yuli dan Imas
Saya juga kembali mengenal budaya pamit.

Di rumah itu, Saya selalu tahu kapan seseorang berada atau tidak berada di rumah.
Pernah suatu ketika, saya sedang membaca buku;
Imas pamit hendak meninggalkan rumah: “Im, aku pergi dulu ya!”

Saya spontan bertanya: Imas, nanti pulang jam berapa?

Tiba-tiba saja Imas berkata: “duh kamu, aku jadi terharu, selama ini gak ada yang pernah ada yang nanyain aku mau pulang jam berapa..di Indo pun, aku kalau pergi gak ditanya pulang jam berapa"

Saya bingung dengan reaksi Imas.
Tapi, saat itu pula saya sadar bahwa saya senang dengan rumah itu.
Rumah dan para penghuninya.
Dalam beberapa hari, mereka berhasil membuat saya merasa nyaman sepertihalnya saat saya bersama saudara kandung saya.

Kenyamanan yang membuat saya menanti mereka yang meninggalkan rumah itu.

Menjelang akhir November, saya lah yang harus meninggalkan rumah itu.

***

Awal December 2009,

Saya kembali menelpon Mba Naili: “Mba, aku boleh nginep situ lagi gak? Aku lagi harus belajar nih? Aku harus submit proposal thesis lagi tanggal 14 december!”

Mba Naili bilang: “Ya boleh lah, datang aja!”

Saya pun datang lagi ke sana.

Di rumah mungil itu,
Saya melihat banyak sekali barang.
Koper, Kardus. Tas. Dan lain-lain.




Saya sendiri membawa tas besar berisi buku-buku.

Seperti biasa, Mba Naili menyapa dengan ramah:
“hai…apakabar…wah aku lupa ngasitau kamu…Titien juga mau nginep sini..dia mau naruh barang-barang sekalian sebelum balik ke Indo..kamu gapapa kan?"

Saya tersenyum: “yah gapapalah, rumah Mba Naili ini..aku kan Cuma mau numpang nginep..tapi kacau juga nih..ada Mba titien! Ngobrol lah kita semalaman..gabisa belajar deh aku!”

Naili: “Ah, Ge-Er banget sih kamu, siapa juga yang mau ngajak kamu ngobrol…belajar aja sana!”

Hahahaha.

***

Belum sehari saya menginap di sana,
Datang seorang Ibu bersama dua anaknya.
Mereka berniat menginap sementara di sana, sambil menunggu tempat yang baru.

Benar saja, saya tidak bisa belajar.
Bukan karena riuh suara anak kecil.
Tapi karena rumah itu terlalu berantakan.

Dapur yang biasanya rapih.
Kali ini penuh dengan barang, kardus, cucian kotor.
Terlalu penuh.
Padahal di dapurlah tempat saya biasa belajar. He..
Saya pun pergi meninggalkan rumah itu.

***

Seminggu kemudian, saya dengar nilai thesis Mba Naili telah keluar.
Saya mencari Mba Naili ingin memberi ucapan selamat.
Saya pun datang mengunjungi rumah Mba Naili.

Sekali lagi, penuh dengan barang,
Di kamar depan, saya melihat Najma.
Mahasiswa Indonesia yang telah menyelesaikan studinya dan akan segera pulang ke tanah air.
Di hari-hari terakhirnya di Melbourne, Ia menginap sementara di rumah Mba Naili

***

Di kamar Mba Naili,
Saya melihat mba Titin, Dira, Naili, Imas, dan Korri.

Saya pun menghampiri Mba Naili untuk memberikan selamat: “Luar biasa, Mba Naili…thesis dikerjain Cuma 2 minggu, nilainya dapet 76! Mantaap kalii!

Mba Naili Cuma tersenyum: “ah beruntung itu…”

Saya menyanggah: “Beruntung dari mana, emang Mba Naili hebat. Rumah ini pun hebat. Ini rumah kecil, tapi tidak pernah menciptakan batas bagi siapapun yang berkunjung. Lihat deh, orang-orang silih berganti datang ke sini! Dari sekian banyak rumah, mungkin Cuma rumah mba Naili yang dicari orang, kenapa? Karena rumah ini tidak pernah menciptakan batas, karena apa? Karena Mba Naili adalah sosok yang tidak pernah menciptakan batas!”

Seperti biasa Mba Naili menyanggah: “Ah gebleg kamu… bisa aja”

***

Pertengahan December 2009,
Saya telah selesai mengerjakan proposal thesis saya.
Saya pun ingin kembali ke rumah Mba Naili untuk menyampaikan ucapan terima kasih.

Saya tidak tahu harus bagaimana membalas kebaikan Mba Naili.
Saya hanya membawa Lasagna buatan saya.

Minggu terakhir December 2009,
Saya masih berada di rumah itu.

Suatu hari, Saya mencoba memasak pasta.


Malamnya, saya melihat seseorang menitipkan barang-barangnya di rumah Mba Naili.
Saya tidak kenal siapa orang itu.

Tapi saya kenal kehangatan rumah Mba Nailii, hingga siapapun tidak pernah berhenti mengunjunginya.

Mereka datang ke sana
Bukan karena sebuah rumah mungil berdiri di Davies Street Brunswick
Tapi karena sosok Naili Huda berdiri di sana.

Naili Huda
Salah satu perempuan berhati mulia =)
Perempuan yang tidak pernah menciptakan batas.
Saya saksinya

Hari ini, 7 Januari 2010,
Mba Naili meninggalkan Melbourne untuk kembali ke tanah air :(

Mba Naili pernah mengutarakan keinginannya melanjutkan pendidikan hingga jenjang doktoral.

Tapi Ia bilang : “Mana ada kampus yang mau nerima, nilai thesis ku kena penalti 10 poin gara-gara telat ngumpulinnya, baru sekarang nyeselnya!”

Ia pun menunduk kecewa.
Sementara saya sedih karena tidak lama lagi saya akan berpisah dengannya :(

Sedih rasanya kehilangan kesempatan untuk mengenal sosok yang begitu baik.
Terlalu sebentar saya menggunakan kesempatan untuk mengenalnya :(


Beruntung, saya pernah benar-benar mengenal Naili Huda.
Perempuan yang selalu memiliki waktu untuk menolong orang lain :)


Entah bagaimana cara yang patut untuk membalas budi baiknya

Awal November 2009, saya mendadak menelpon ingin datang ke rumah Mba Naili

Sepanjang December 2009, saya ingin terus kembali ke rumah Mba Naili

Pertengahan dan Akhir December 2009, saya ingin memasak untuk Mba Naili

Di hari kepulangan Mba Naili…
Saya pun ingin berdoa untuk Mba Naili

Selamat Jalan Mba Naili Huda, Semoga Selamat sampai Tujuan hingga ke Gerbang Phd =)


Jika kepada mereka yang berpendidikan, sosok Naili Huda, tidak pernah menciptakan batas.
Saya pun yakin, dunia pendidikan tidak akan pernah menjadi batas bagi Naili Huda :)

***




Ps: Saya tahu Mba Naili akan berkata: “gebleg kamu..hipotesis apa itu!” hehe.

Tapi jika kita percaya Tuhan selalu mendengar doa hambanya, saya berharap semoga Allah akan mengabulkan doa pengagum Mba Naili :P

Naili Binti Mas’adi kan? Bukan Ma’asdi? Hehe…maapkan kesalahan saya dalam berdoa selama bulan November :P

1 comment:

  1. Anonymous4:30 PM

    Naili memang hebat, punya kucing ga dia di sana?

    yanu

    ReplyDelete